Oleh : Dr. H. Supandi, M.Pd.I

(Akademisi Universitas Islam Madura)


Tulisan ringan ini dibuat dalam perjalanan Madura-Malang pada Rabu/10/12/2025. Di tengah hiruk-pikuk perkembangan zaman, Islamic Studies tidak lagi berada pada ruang sunyi perpustakaan atau aula akademik yang kaku. Ia justru bergerak lincah mengikuti denyut nadi perubahan masyarakat global yang memasuki babak baru: Society 5.0. Sebuah era ketika teknologi bukan hanya alat, tetapi sebuah “rekan hidup” yang mengiringi setiap langkah manusia. Pada fase ini, batas antara dunia fisik dan digital menipis seperti buih kopi yang perlahan menyatu dengan permukaannya; keduanya tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Inilah zaman ketika kecerdasan buatan, big data, robotika, dan internet of things bukan lagi sekadar inovasi, tetapi telah menjadi bagian dari keseharian.


Perubahan besar ini mendorong Islamic Studies untuk bertransformasi dari pola tekstual-normatif menuju paradigma yang lebih interkonektif, multidisipliner, dan humanis. Jika dulu kajian keislaman sering dipandang sebagai disiplin yang bergerak secara linear dari teks ke tafsir, kini ia tumbuh dengan cabang-cabang baru yang mengaitkan tradisi klasik Islam dengan dinamika kontemporer. Alquran dan hadis tetap menjadi sumber utama, tetapi pendekatannya semakin meluas: dari digital humanities, studi media, psikologi sosial, hingga kajian futuristik. Suasana diskusi tidak hanya bergantung pada kitab kuning yang menguning, tetapi juga data digital yang bertebaran di pelbagai platform.


Era Society 5.0 membawa kesadaran bahwa Islamic Studies perlu membuka jendela lebih lebar agar angin perubahan ini dapat memberi kesejukan. Di sini, Islamic Studies bukan hanya tentang memahami masa lalu, tetapi membangun relevansi masa depan. Para ilmuwan Muslim kini ditantang untuk menjawab pertanyaan: bagaimana nilai-nilai Islam mampu hadir sebagai solusi pada persoalan yang tidak pernah dibayangkan ulama abad sebelumnya—misalnya etika kecerdasan buatan, radikalisme digital, atau spiritualitas di tengah ledakan informasi? Kajian keislaman dituntut untuk tampil lebih progresif, lebih dekat dengan manusia modern yang setiap detiknya bersentuhan dengan dunia maya.


Dalam konteks inilah, transformasi paradigma menjadi niscaya. Islamic Studies kini mengarah pada model integrasi yang memadukan tiga ranah besar:

(1) Tradisi klasik Islam, sebagai fondasi nilai dan khazanah;

(2) Ilmu modern, sebagai alat analisis; dan

(3) Teknologi digital, sebagai medium persebaran pengetahuan.


Ketika ketiganya menyatu, kita menemukan wajah baru Islamic Studies yang lebih ramah, terbuka, dan relevan. Ia bukan hanya menjelaskan ayat, tetapi juga menghubungkan ayat dengan algoritma; bukan hanya membahas konsep akhlak, tetapi juga bagaimana akhlak bekerja dalam dunia digital; bukan hanya berbicara tentang peradaban masa lalu, tetapi juga merancang wajah peradaban masa depan.


Bayangkan seorang santri yang tidak lagi hanya menghafal definisi nahwu dari kitab Alfiyah, tetapi juga mempelajari analisis digital teks-teks klasik melalui platform kecerdasan buatan. Atau mahasiswa Islamic Studies yang menggabungkan tafsir tematik Alquran dengan pemetaan big data percakapan publik di media sosial untuk melihat fenomena moderasi beragama. Cara belajar ini bukan mimpi—ia telah terjadi di berbagai perguruan tinggi Islam, menandai perubahan epistemologis yang begitu cepat.


Implikasi Transformasi Ini terhadap Pendidikan Islam


Pendidikan Islam tentu tidak tinggal diam. Ia berada pada posisi yang sangat strategis untuk mengadopsi dan mengadaptasi perubahan paradigma ini. Jika Islamic Studies mengalami transformasi cara berpikir, maka pendidikan Islam harus mengubah cara mengajar, cara mendidik, dan cara menghadirkan pengalaman belajar bagi peserta didik.


Pertama, kurikulum pendidikan Islam perlu mengintegrasikan literasi digital sebagai kompetensi dasar. Di era Society 5.0, siswa dan santri tidak cukup dibekali kemampuan membaca kitab atau memahami fikih ibadah. Mereka harus cakap menavigasi ruang digital secara etis. Maka pendidikan Islam harus mengajarkan bagaimana menjadi Muslim yang berakhlak di dunia maya, bagaimana menyaring informasi keagamaan, bagaimana mengenali ujaran kebencian yang dikemas dalam ayat atau hadis palsu, serta bagaimana menggunakan media digital untuk dakwah yang sejuk dan moderat.


Kedua, pendidikan Islam harus mengembangkan metode pembelajaran yang kolaboratif dan interkonektif. Model ceramah satu arah tentu masih bermanfaat, tetapi tidak cukup. Peserta didik perlu dilibatkan dalam dialog kritis, studi kasus digital, eksplorasi multimedia, bahkan simulasi berbasis teknologi. Proses pembelajaran yang interaktif akan membantu mereka memahami nilai dan teks keagamaan tidak sebagai doktrin kaku, tetapi sebagai pedoman hidup yang dapat dibaca ulang sesuai konteks zaman.


Ketiga, guru dan dosen pendidikan Islam perlu meningkatkan kompetensi digital pedagogis. Guru hari ini bukan hanya penyampai materi, tetapi navigator informasi. Mereka harus mampu memandu peserta didik membedakan sumber keagamaan yang valid dari yang menyesatkan, memanfaatkan aplikasi digital untuk pembelajaran PAI, dan membangun kelas yang menyenangkan meskipun melalui layar. Guru yang melek teknologi akan mampu menjadikan pendidikan Islam lebih hidup, relevan, dan bermakna.


Keempat, pesantren dan madrasah perlu memperbarui manajemen berbasis data digital. Transformasi Islamic Studies tidak hanya berpengaruh pada kelas, tetapi juga pada tata kelola lembaga. Penggunaan sistem informasi, database santri, analisis data minat belajar, sampai aplikasi pembelajaran Alquran digital dapat membuat madrasah lebih responsif terhadap kebutuhan peserta didik. Inilah yang membuat pendidikan Islam tidak tertinggal, tetapi justru melangkah sebagai pionir inovasi.


Kelima, yang tak kalah penting, pendidikan Islam perlu memanfaatkan era Society 5.0 untuk memperkuat nilai-nilai spiritualitas dan humanitas. Meskipun teknologi semakin canggih, hati manusia tetap membutuhkan kedamaian. Di sinilah pendidikan Islam hadir sebagai jembatan antara kemajuan teknologi dan kebutuhan batin. Pengajaran akhlak, tasawuf, moderasi beragama, dan etika digital menjadi bekal agar peserta didik tidak kehilangan arah di tengah badai informasi. Era Society 5.0 mungkin menekankan teknologi, tetapi esensinya tetap manusia—nilai yang selaras dengan pesan Islam.


Dengan demikian, transformasi paradigma Islamic Studies bukan hanya gerak intelektual, tetapi juga revolusi kultural dalam pendidikan Islam. Ia mengubah cara kita memandang ilmu, cara kita mengajarkan agama, bahkan cara kita memaknai keberagamaan dalam kehidupan modern. Jika dulu ilmu agama selalu dipandang statis, justru kini ia menunjukkan elastisitas yang memukau. Seperti pisang goreng yang tetap nikmat meski dinikmati dengan berbagai cara, ilmu keislaman pun memperlihatkan wajah baru yang lebih segar, relevan, dan penuh cita rasa.


Pada akhirnya, Islamic Studies di era Society 5.0 mengajak kita untuk menjadi Muslim digital yang cerdas, beretika, dan humanis. Sementara pendidikan Islam ditantang untuk menjadi ruang yang tidak hanya mencetak insan berpengetahuan, tetapi juga insan yang bijaksana dalam menafsir dinamika zaman. Di antara kepulan kopi yang hangat, kita dapat merenungkan: betapa indahnya jika teknologi dan nilai-nilai Islam berjalan seiring, menghadirkan peradaban yang lebih damai, moderat, dan berkeadaban.


Salam hangat

Semoga bahagia selalu….