Oleh : Dr. H. Supandi, M.Pd.I

Wakil Rektor 3 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan


Mutu sebagai "Bumbu Wajib"

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah penjaminan mutu telah menjadi semacam “bumbu wajib” yang selalu ditemukan dalam setiap diskusi kampus, khususnya di lingkungan perguruan tinggi keislaman. Mutu di PTKI diposisikan sebagai konsep yang unik. Kualitas di lembaga ini tidak hanya dipastikan melalui standar akademik belaka, tetapi juga marwah keilmuan Islam harus dijaga. Di sinilah mutu didefinisikan bukan sekadar angka akreditasi atau jumlah publikasi yang dicapai, melainkan juga nilai, akhlak akademik, dan ruh keilmuan yang ditumbuhkan dalam ekosistem kampus.

Perguruan tinggi keislaman dianalogikan seperti sebuah pesantren besar yang didapati berdiri di zaman digital. Nilai-nilai lama harus dirawat—seperti kejujuran ilmiah, adab kepada guru, integritas akademik, dan sikap tawadhu’. Namun, pada saat yang sama, kebutuhan untuk mengikuti irama zaman juga dituntut: akreditasi berbasis data harus dipenuhi, lulusan yang kompetitif harus dicetak, dan program studi yang inovatif harus dikembangkan. Di tengah persimpangan ini, penjaminan mutu dihadirkan sebagai jembatan yang menghubungkan cita-cita ideal keislaman dengan tuntutan realitas kontemporer.

Garda Depan Mutu: UPM dan GKM

Ketika mutu di kampus dibicarakan, dua unit utama tidak bisa dilewatkan: UPM (Unit Penjaminan Mutu) dan GKM (Gugus Kendali Mutu). Keduanya kadang dipuji, tetapi seringkali juga dicurigai. UPM kadang disebut seperti “polisi kampus”, yang selalu dilihat memeriksa, mengingatkan, dan mengirim pesan untuk melengkapi bukti kegiatan. Padahal, tugas sebenarnya dianggap jauh lebih mulia dan strategis. UPM dilihat bukan sebagai polisi, melainkan penjaga ritme mutu. Unit ini ditugaskan untuk memastikan bahwa semua proses berjalan sesuai standar. UPM dipertanggungjawabkan untuk menjaga agar program studi tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan diarahkan seperti orkestra yang dikendalikan oleh konduktor.

Sementara itu, GKM didefinisikan sebagai “mata dan telinga mutu” di setiap program studi. Mereka dijadikan pihak yang memastikan bahwa RPS tidak hanya diunggah tetapi juga benar-benar digunakan. GKM juga dituntut untuk memastikan kurikulum tidak hanya bagus di atas kertas, tetapi dihidupkan di ruang kelas, di laboratorium, di mushalla, bahkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat.

Kerja GKM kadang dirasakan seperti menjaga warung kopi. Jika tidak diperhatikan dengan teliti, tiba-tiba stok gula akan habis padahal pelanggan terus berdatangan. Begitu pula mutu: jika tidak dijaga, tiba-tiba borang akreditasi ditemukan jatuh di angka yang tidak diharapkan. Mutu ditekankan harus dipelihara secara berkelanjutan.

Mutu sebagai Proses Berkelanjutan

Seringkali, mutu dianggap oleh perguruan tinggi sebagai sebuah “kejutan” yang datang menjelang akreditasi. Ketika asesor akan datang, barulah semua dibuat sibuk membersihkan ruangan, menata dokumen, mencari bukti kegiatan, bahkan meminjam foto dari kegiatan lain demi melengkapi folder. Padahal, penjaminan mutu diciptakan justru agar kampus tidak bekerja dengan sistem “kaget-kagetan”. Mutu ditekankan harus mengalir setiap hari seperti kegiatan mahasiswa yang terlihat antre di kantin.

Mutu yang mengalir akan tampak dalam:

  1. Dosen yang konsisten mengajar sesuai RPS.
  2. Mahasiswa yang diberikan pengalaman belajar bermakna, bukan hanya dituntut mengisi daftar hadir.
  3. Penelitian dosen yang betul-betul dijadikan kontribusi keilmuan, bukan hanya untuk memenuhi BKD.
  4. Pengabdian kepada masyarakat yang dibuat hidup dan berdampak, bukan sekadar formalitas foto bersama.
  5. Kerja-kerja administratif yang dikerjakan rapi dan bertanggung jawab.

Jika semua aspek ini mengalir sebagai kebiasaan, maka akreditasi tidak akan lagi dirasakan sebagai beban. Akreditasi akan datang seperti tamu yang disambut dengan tangan terbuka karena pihak kampus tahu bahwa rumah sudah rapi sejak awal.

Tantangan Khas Mutu di PTKI

Ada beberapa tantangan khas yang membuat penjaminan mutu di PTKI dirasakan penuh dinamika:

  1. Keseimbangan antara nilai dan kompetensi: Kampus keislaman tidak boleh kehilangan ruh keislamannya, tetapi juga tidak boleh tertinggal dari perguruan tinggi umum. Mutu harus menyeimbangkan keduanya agar lulusan dihasilkan yang memiliki akhlak mulia sekaligus keterampilan modern.
  2. Digitalisasi yang masih merayap: Sistem informasi mutu, mulai dari e-RPS hingga e-monev, sering kali baru dijalankan setengah hati. Perguruan tinggi keislaman diperlukan untuk mempercepat transformasi digital agar mutu tidak hanya didokumentasikan, tetapi juga dianalisis secara berkala.
  3. Beban administratif yang tinggi: Dosen-dosen terkadang dibuat kehabisan energi di lembar kerja, sehingga dilupakan bahwa inti mutu adalah meningkatkan kualitas pembelajaran dan layanan, bukan hanya mengunggah berkas.
  4. Koordinasi lintas unit: Mutu tidak bisa bekerja sendirian. Mutu harus melibatkan akademik, kemahasiswaan, laboratorium, perpustakaan, dan terutama pimpinan. Tanpa sinergi, mutu akan menjadi jargon kosong.
Mutu sebagai Budaya Peradaban

Pada akhirnya, penjaminan mutu dianggap akan berhasil jika berhasil diubah menjadi budaya. Budaya mutu diperlihatkan dalam kegiatan sehari-hari, bukan hanya dalam dokumen borang.

Budaya mutu kampus keislaman akan terlihat ketika:

  1. Perkuliahan disiapkan oleh dosen dengan niat ibadah.
  2. Pembelajaran dilakukan oleh mahasiswa dengan integritas, bukan menyontek.
  3. Pelayanan diberikan oleh staf administrasi dengan ramah dan profesional.
  4. Contoh diberikan oleh pimpinan dengan kebijakan yang jernih dan terukur.

Ketika budaya mutu dihidupkan, PTKI akan tumbuh menjadi institusi yang tidak hanya berakreditasi “Unggul”, tetapi juga berperadaban unggul.

Mutu adalah Jalan Panjang

Mutu di PTKI ditekankan bukan sebagai proyek sesaat. Mutu diibaratkan sebagai perjalanan panjang yang membutuhkan konsistensi, kerjasama, dan kesabaran—mirip seperti menuntut ilmu di pesantren. Ditekankan bahwa tidak ada yang instan, dan tidak ada yang mendadak.

Namun, perjalanan itu dibuat menjadi lebih ringan ketika dinikmati bersama-sama, sambil menjaga niat baik, sambil memperbaiki sedikit demi sedikit, dan sambil sesekali menyeduh kopi agar suasana tetap hangat.

Penjaminan mutu disimpulkan bukan hanya tentang mengejar standar, tetapi tentang menjaga marwah, merawat nilai, dan membangun kampus keislaman yang dikategorikan berkelas, beradab, dan berdaya saing. Dan seperti pisang goreng hangat yang dicelupkan ke kopi, mutu itu dirasakan lebih nikmat jika diolah dengan kesungguhan dan keikhlasan.